Jakarta Mungkin banyak masyarakat tidak tahu bahwa
di komisi III DPR RI sekarang ini sedang dibahas Rancangan Undang-Undang
tentang Lambang Palang Merah (RUU LPM). Apalagi di tengah banyaknya
masalah yang menimpa bangsa ini, berita mengenai perkembangan RUU ini
jarang sekali di dengar di media massa kita.
Padahal, RUU ini tak kalah kontroversial dibandingkan RUU lainnya, khususnya di dunia kerelawanan Indonesia.
RUU yang diajukan pada tahun 2005 ini berisikan mengenai teknis
spesifikasi pemakaian Lambang Palang Merah dan merupakan kelanjutan dari
ratifikasi Konvensi Jenewa yang mewajibkan setiap negara memilki satu
lambang kemanusiaan untuk perhimpunan nasionalnya agar dalam suatu
konflik perhimpuan nasional ini dilindungi dari serangan senjata.
Lambang yang diperkenankan dalam konvensi tersebut adalah lambang Palang Merah (Red Cross), Bulan Sabit Merah (Red Crescent), dan Kristal Merah (Red Cristal).
Tapi, dari isi RUU ini banyak sekali yang pada akhirnya menuai
kontroversi. Dari mulai pengenaan sanksi bagi setiap yang
menyalahgunakan lambang palang merah, hingga kekuatan yuridis RUU ini
nantinya yang akan dapat menggeser organisasi kemanusiaan lain selain
PMI.
Dalam RUU ini diatur penggunaan Lambang Palang Merah yang memiliki
sanksi pidana terhadap pelanggarnya, tentu akan menjadi dilema
tersendiri.
Karena masyarakat sudah terlanjur mengenal Lambang Palang Merah
sebagai lambang umum pengenal segala kegiatan yang berhubungan dengan
medis seperti dipakainya dalam lambang rumah sakit, logo obat-obatan,
kegiatan medis suatu partai, dan sebagainya.
Dengan adanya RUU ini jika nantinya disahkan menjadi UU, jelas akan
berdampak signifikan dalam kehidupan masyarakat, khususnya di bidamg
medis. Banyaknya lambang dan logo yang harus diganti dan paradigm
Lambang Palang Merah dalam masyarakat harus diubah.
Tapi, yang lebih membuat kontroversial lagi adalah kekuatan
yuridisnya yang akan menghapus berbagai organisasi kemanusiaan selain
PMI yang menggunakan lambang sesuai Konvensi Jenewa karena Indonesia
nantinya -dalam RUU ini- akan hanya memiliki satu lambang kemanusiaan,
yakni Palang Merah yang dimiliki oleh Palang Merah Indonesia (PMI).
Jelas, beberapa organisasi kemanusiaan yang menggunakan Lambang
sesuai Konvensi Jenewa selain PMI merasa hal ini merupakan bentuk
monopoli PMI dan bentuk diskrimasi pemerintah terhadap organisasi
kemanusiaan lainnya yang menggunakan lambang dalam Konvensi Jenewa
tersebut.
Padahal, di Indonesia ada banyak organisasi kemanusiaan yang menggunakan lambang Konvensi Jenewa ini.
Semisal Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) yang menggunakan Lambang
Bulan Sabit Merah sebagai lambang organisasinya. BSMI juga merupakan
salah satu organisasi yang paling lantang menolak RUU LPM ini karena
alasan monopoli dan diskriminasi tersebut.
Lalu, selain itu, masalah selanjutnya adalah diwajibkannya Lambang
Palang Merah untuk semua kegiatan kemanusiaan terutama dalam konflik,
termasuk relawan kesehatan, jawatan kesehatan tentara, dan rohaniawan.
Walau Palang Merah secara yuridis adalah lambang yang netral, -tidak
merujuk agama, bangsa manapun- tapi, kita tak memungkiri jumlah
masyarakat Indonesia yang sebagian besar muslim akan rentan mengalami
penolakan. Apalagi yang memakai lambang tersebut adalah rohaniawan.
Penolakan di masyarakat mengenai lambang ini juga sering terjadi pada
negara-negara dengan mayoritas muslim. Misalkan saya Turki Utsmani yang
pertama kali membuat Lambang Bulan Sabit Merah ini karena merasa risih
akan Lambang Palang Merah.
Atau Malaysia yang sudah lama mengganti Lambang Palang Merahnya
menjadi Lambang Bulan Sabit Merah. Bahkan Iran pernah menggunakan
Lambang Singa Merah sebagai lambang kemanusiannya walau akhirnya
dihentikan pemakainnya.
Israel sendiri sampai sekarang masih konsisten menggunakan Lambang
Bintang David Merah walau lambang tersebut tidak ada dalam Konvensi
Jenewa.
Penggunaan lambang kemanusiaan sesuai dengan kultur bangsa tersebut
adalah hal yang wajar. Karena kemanusiaan tersebut identik dengan
manusia dalam masyarakat itu sendiri yang memilki kultur masing-masing.
Tapi, tak pantas sebenarnya membahas lambang kemanusiaan apa yang
sebaiknya dipakai oleh Indonesia karena Lambang Palang Merah dan Lambang
Bulan Sabit Merah memiliki kelebihannya masing-masing. Lambang Palang
Merah lebih lama hidup di Indonesia sehingga memiliki rentetan historis
yang cukup panjang.
Berbeda dengan Lambang Bulan Sabit Merah yang masih tergolong baru,
walau mendapat respon yang sangat positif karena kedekatan kultur dengan
masyarakat Indonesia sendiri.
Untuk permasalahan RUU ini sendiri, terdapat beberapa opsional solusi
atas ini. Pertama, dibatalkannya RUU LPM ini dan membiarkan
Lambang-lambang dalam Konvensi Jenewa tersebut tetap eksis masing-masing
tanpa perlu dimonopoli oleh satu pihak.
Kedua, tetap diadakannya UU tentang Lambang Kemanusiaan dengan
mengakomodir dan mengesahkan dua lambang kemanusiaan yang eksis di
Indonesia ini, yakni Lambang Palang Merah dan Lambang Bulan Sabit Merah
dengan mengesahkan dua perhimpunan nasional yang ada.
Ketiga, tetap disahkan UU Lambang Palang Merah ini tapi tidak
menghapus organisasi lain yang menggunakan lambang di Konvensi Jenewa
tersebut.
Hendaknya, perlu ada kebijakan dari Pemerintah maupun DPR mengenai
permasalahan RUU Lambang Palang Merah ini agar nantinya RUU ini tidak
menjadi sumber masalah baru dan konflik dalam masyarakat, khususnya
dalam bidang kemanusiaan.
Karena pada prinsipnya organisasi-organisasi kemanusiaan ini selalu
dibutuhkan oleh masyarakat luas. Jadi, kebijakan dalam hal ini berarti
juga mempengaruhi kebutuhan masyarakat luas.
Rabu, 27 November 2013