Jumat, 29 Maret 2013
Risalah KH Zaini Mun'im Paiton probolinggo
Ulama Organik yang Bersahaja
Sang ayah memberikan nama Abd. Mughni tapi setelah menunaikan ibadah haji dirubah menjadi Zaini. Ia lahir pada tahun 1906 di desa Galis Pamekasan Madura dari pasangan KH. Abd. Mun’im dan Nyai Hamidah. Dari garis ayah, Zaini merupakan keturunan dari raja-raja Sumenep yang menjulur kebelakang hingga Sunan Kudus. Sementara dari garis Ibu, ia adalah keturunan dari raja-raja Pamekasan. Ia adalah seorang bangsawan yang bertitelkan Raden yang sangat di segani di Madura. Demikian pula, dari sudut ekonomi, keluarga Kiai Abd. Mun’im termasuk dalam deretan orang yang berkecukupan, bahkan sangat kaya, jika di bandingkan dengan keluarga lainnya dikalangan masyarakat Pamekasan.
Pada usia 11 tahun Zaini masuk sekolah volk school (sekolah rakyat) hingga tamat tahun 1921. pada usianya yang ke 15 tahun, ia kemudian berangkat ke Bangkalan untuk nyantri di pesantren Kademangan yang di asuh oleh Kiai Khalil. Di Bangkalan inilah Zaini mampu menghafalkan 10 juz al-Qur’an dan kitab Alfiyah Karya Ibnu Malik.
Menginjak usia 24 tahun, Zaini berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Sekembalinya dari Mekkah ini, ia kemudian melanjutkan studinya di pesantren Banyuanyar Pamekasan Madura yang di asuh oleh Kiai Abdul Hamid. Setelah itu ia melanjutkan studi lagi ke pesantren Sidogiri. Ia hanya satu tahun dan kemudian kembali ke kampung halaman karena ayahnya meninggal dunia. Dirasa ilmunya kurang seberapa, Zaini mondok lagi ke pasantren Tebuireng Jombang yang berguru langsung kepada Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari.
Tahun 1928, ia bersama orang tua dan kakeknya menuju Mekkah. Di samping menunaikan ibadah haji, juga melanjutkan studi di Mekkah yang tinggal di sifirlain. Pada tahun 1934, a pulang ke Indonesia untuk melanjutkan kepemimpinan di pesantren yang telah ditinggal ayahnya.
Melawan Kolonial Belanda
Dengan seperangkat ilmu yang diperoleh, baik pengetahuan agama, maupun pengetahuan umum yang dilengakapi dengan wawasan politik serta budi pekerti yang lihur, KH. Zaini mun’im tidak tinggal diam berpangku tangan melihat keganasan penjajah Belanda. Ia terlibat langsung dalam kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sejak kembali dari Mekkah, kiai Zaini segera bergabung dalam organisasi nahdlatul ulama (NU) untuk melawan kolonial Belanda.
Di masa pendudukan Jepang, di samping aktif memberikan penyuluhan kepada para petani, khususnya petani tembakau, kiai Zaini juga terlibat sebagai anggota bahkan pimpinan barisan pembela Tanah Air. Tahun 1943, ketika kekejaman tentara jepang telah memuncah dengan menginjak-injak warga Madura yang berujung pada penderitaan masyarakat, maka dengan dimotori oleh sejumlah kiai, maka pecahlah peperangan. Beberapa kiai -termasuk kiai Zaini- ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara.
Setelah bubarnya pertahanan rakyat di Madura, karena terdesak oleh musuh yang sangat kuat, maka kiai Zaini terpaksa meninggalkan kampung halaman menuju daerah Asembagus Situbondo. Setelah sampai di sana, kiai Zaini kemudian menetap di Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo yang di asuh oleh Kiai Syamsul Arifin. Pesantren tersebut menjadi pilihan, karena pesantren ini telah ditetapkan Belanda sebagai daerah suci (Heillinge Zone), daerah terlarang bagi tentara Belanda untuk memasukinya.
Kiai Zaini tinggal dipesantren Sukorejo hingga pertengahan tahun 1948 dan setelah itu ia pindak ke Probolinggo. Awalnya kiai Zaini tinggal sebentar di Kraksaan untuk kemudian pindah ke Desa Karanganyar Paiton yang sekarang menjadi komplek Pondok Pesantren Nurul Jadid. Tidak lama ia menetap, Belanda mengetahui bahwa orang yang di anggap berbahaya dan sudah di cari-cari ada di sana. Maka ditangkaplah ia dan di penjara di LP Probolinggo. Ia masuk penjara tanggal 9 Desember 1948 sampai tanggal 18 Maret 1949.
Merintis Pesantren Nurul Jadid
Pada awalnya, kedatangan KH. Zaini Mun’im pada tahun 1948 di Probolinggo sesungguhnya tidak bermaksud mendirikan sebuah pesantren, melainkan untuk mengisolir diri dari keserakahan dan kekejaman kolonial Belanda. Oleh karenanya, ia berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain hingga akhirnya memutuskan diri untuk mencari tempat tinggal yang permanen.
Untuk memutuskan, dia berkonsultasi pada Kiai Syamsul Arifin (ayahanda kiai As’ad) yang akhirnya menyarankan agar dia tinggal di Desa Karanganyar -Tanjung orang menyebutnya- Paiton. Kemudian bersama dua orang santri Syafi’uddin dan Syaifuddin, yang di anggapnya sebagai amanah dari Allah yang tidak boleh di abaikan.
Mulai saat itu, ia menetap bersama santrinya. Namun tidak lama kemudian ia ditangkap kembali oleh Belanda, karena semenjak di Madura Kiai Zaini memang menjadi incaran. Setelah tiga bulan di penjara dan dikembalikan lagi ke Karanganyar untuk mengasuh santri-santrinya yang sedang menunggu kehadirannya.
Dalam keadaan yang sudah mulai kondusif, pada tahun 1950 Kiai Zaini di kejutkan oleh surat panggilan oleh Menteri Agama (waktu itu Kiai Wahid Hasyim). Kiai Zaini diminta menjadi penasehat dan pimpinan rombongan jama’ah haji Indonesia ke Mekkah. Sekaligus niatan untuk menyebarkan agama Islam sampai kepolosok tanah air tercapai dengan semboyan, ”hidup saya akan diwakafkan untuk penyiaran dan meninggikan agama Allah SWT.”
Ketika Kiai Zaini menjalankan tugas di Mekkah, datanglah dua orang santri yang bermaksud untuk belajar pada kiai Zaini yaitu kiai Muntaha dari pesantren Bata-Bata Madura dan kiai Sufyan dari Pesantren Zainul Hasan Genggong. Kedua kiai inilah yang melanjutkan pembangunan pesantren yang dirintis oleh kiai Zaini. Di samping memberikan pengajian kepada santrin-santrinya, juga melakukan kontak komunikasi dengan masyarakat sekitar pesantren, sehingga pesantren mulai dikenal oleh masyarakat di sekitarnya. Jumlah santri yang menetap di pesantren berjumlah sekitar 30 orang dibawah asuhan kiai Sufyan dan kiai Munthaha. Dengan kharisma yanmg dimiliki, kiai Sufyan dengan mudah dapat membangun beberapa asrama yang terbuat dari bambu (cangkruk) untuk tempat tinggal santri.
Sepulangnya kiai Zaini dari tanah suci dan terlihat beberapa gubuk sudah mulai berdiri, maka tergeraklah ia untuk menyerahkan pondok ini kepada kiai Sufyan. Sementara kiai Zaini berkeinginan untuk mendirikan pondok ditempat yang lain, akan tetapi tawaran ini di tolak oleh kiai Sufyan.
Upaya perubahan yang dilakukan KH Zaini Mun’im bersama santri-santrinya terhadap masyarakat Karanganyar tersebut, kemudian dibalas dengan sikap simpati masyarakat berupa dukungan terhadap perkembangan pesantren Nurul Jadid. Di antaranya adalah dukungan masyarakat Karanganyar terhadap berdirinya Lembaga Pendidikan mulai Taman Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT).Pesantren yang diasuh KH Zaini Mun’im ini nampaknya mendapat pengakuan yang cukup luas di kalangan masyarakat. Terbukti dengan semakin banyaknya jumlah santri yang berdatangan dari segala penjuru tanah air, bahkan dari luar negeri (Singapura dan Malaysia). Hingga saat ini pesantren Nurul Jadid telah melahirkan ribuan alumni.
Kiai Zaini di samping alim juga kiai intelaktual, organik yang mampu mengolah pikiran-pikirannya yang brilian dengan dibuktikan menulis beberapa kitab yang di antaranya adalah, bidang ushul fiqh (Taysir Ushul Fi Al Ilmal Ushul), fiqh (Nahdam Safinah Al-Najah), aqidah (Syu’ab Al Iman) dan tafsir (Tafsir Al-Qur’an Bi Al Imlak).
Seluruh kitab yang ditulis dengan gaya bahasa yang memikat tersebut hingga sekarang tetap menjadi koleksi perpustakaan pesantren Nurul Jadid. Kitab-kitab itu terus menjadi bacaan pupoler, bahkan “menu wajib” para santri NJ (Nurul Jadid) -orang menyebutnya-. Belakangan isi kitab tersebut telah menjadi modal para alumni pesantren NJ yang tersebar di Nusantara bahkan luar Negeri dalam berdakwah ditengah masyarakat multikultural.
Kiai Zaini di samping menjadi pengasuh pesantren, ia juga aktif di NU dengan menjadi Rais Syuri’ah NU cabang Kraksaan, terhitung mulai tahun 1953 hingga 1975, sebuah pengabdian yang cukup panjang. Pada tahun 1960, kiai Zaini terpilih sebagai Wakil Rais Syri’ah PWNU Jawa Timur mendampingi kiai Mahrus Ali sebagai Ra’isnya.
Ala Kulli Hal, memang sejarah tampaknya telah berpihak kepadanya. Ia berhasil menyeberang zaman, ia melihat ke “depan bersama sejarah”, sehingga ia tak terkutuk. Kiai Zaini tidak ikut menyaksikan muktamar Situbondo, ia adalah pemilih ide agar NU kembali ke Khittah. Namun suaranya tenggelam oleh hiruk pikuk NU berpartai. Ketika ide itu diimplementasikan, dia telah mendahului berpulang ke rahmatullah. Ia wafat pada tanggal 29 Juli 1976 M/ 29 Rajab 1396 H. dalam usia 70 tahun.
Kiai Zaini adalah tokoh yang sangat di segani dan di hormati. Secara intelektual, kiai Zaini tidak diragukan lagi. Ia termasuk rentetan para kiai yang cukup produktif dari pesantren yang melahirkan karya-karya intelektual, betapa dunia tulis menulis di pesantren tidaklah mati, melainkan terus dinamis. Kiai Zaini menjadi eksis dan tumpuan untuk bertanya dan sumur tempat menimban wejangan dan nasehat-nasehat bijak. Ia, walaupun berada dalam derajat tinggi, kiai Zaini tetap dengan kebersahajaan dan ke-zuhudan-nya.